Kamis, 15 November 2012

Untung DUFAN Hanyalah Dunia Fantasi


Dear readers (kalau ada! Hehehe)

Tulisan kali ini berisi perenungan mendalam saat saya dan beberapa kawan seprofesi digiring oleh pantia acara perusahaan ke Dunia Fantasi (DUFAN). Ceileee... Bahkan di arena se-chaos DUFAN pun saya bisa merenung. Anda kebayang dong, hebatnya saya?? Aahahaa... :D (Abaikan! Just kidding.)

Setibanya kami di DUFAN, teman-teman panitia dari kantor pusat meunjukkan pada kami wahana-wahana apa saja yg ada di sana. Pertama kali yg kami tuju adalah wahana Histeria. Saya menebak, alat permainan itulah yg dirasa paling ngeri sehingga patut dicoba duluan. Saya pikir saya cukup beruntung, mesin si Histeria sedang dalam masa perawatan, sehingga wahana itu ditutup.

Kecewa dengan tujuan spektakuler yg pertama, kami diajak ke tujuan berikutnya yg sudah saya duga sama tidak wajarnya. Hhm...namanya Halilintar. Cetar...Cetar...? Oh, ternyata tidak ada suara semacam itu. Segera saja teman-teman saya bersorak dan masuk lika-liku antrean. Saya yang melihat sekilas si Halilintar memilin-milin penumpangnya, segera tidak tertarik dan menjauhi antrean. Salah seorang teman memaksa saya mencoba mengadu peruntungan di wahana ini, tapi saya berkeras menolak. ”Ah, ntar aja kalo kalian baik-baik saja setelah turun dari situ, mungkin kapan-kapan aku mau mencoba. Hehehee...”, begitu kira-kira saya menghindar. Saya memilih menunggui setumpukan tas dan gadget teman-teman ketimbang di-putar-seret-dorong-kocok-jungkir-balik begitu.

Dalam pertapaan terbuka itulah saya memasuki alam renungan (halah!). Jakarta! Aneh sekali warga kota ini. Di hari-hari kerja yang penuh kepenatan khas kota metropolitan sebuah negara berkembang, dengan temperatur udara di atas rata-rata suhu nusantara, dengan lika-liku jalanan yang rumit dan tak bersahabat bagi warga baru, yang sebagian besar penghuninya merasa harus melakukan aktivitas dengan terburu-buru, yang mengalami kekeringan di usim kemarau dan kebanjiran di musim hujan, yang macet sudah jadi keniscayaan... Warga kota yang hidup dalam hari-hari seperti itu memilih menghabiskan akhir pekannya di arena seperti ini, demi diputar-putar, dijungkir-balik, diseret-dorong, ditarik-ulur... Saya menangkap kejanggalan di titik ini. Inikah kesenangan akhir pekan yang didambakan setelah semingguan penat mengejar target kerja?

Seorang panitia mendadak muncul, mendapati saya teronggok bersama gundukan tas sembari termangu menonton penumpang halilintar yg di-putar-seret-dorong-kocok-jungkir-balik tersebut (asumsi: dia tidak paham, saya sedang merenung). Dia segera ’mengusir’ eksistensi saya dari pose yang menurutnya janggal itu, menyuruh saya naik wahana apa saja yang saya sukai. Okee...perintahnya tidak bisa saya bantah, sebab kebetulan dia bos J. Jadilah saya dan 2 orang teman lainnya kabur dari TKP dan mencari-cari mainan-apa-saja-yang-penting-diam.

Hahahaa...aneh. Kami ke sana kemari dan tidak menemukan permainan semacam itu. Semua permainan yang kami hampiri selalu melibatkan adegan pengacau kondisi homeostatis. Ntah itu diputar horisontal macam komidi putar berkecepatan tinggi yang pastinya bikin mabuk, diputar vertikal macam orang dipaksa salto dalam keadaan duduk, dibolak-balik macam ikan gantung di pasar, ditarik ulur macam yoyo, atau kombinasi dari semuanya (Anda digantung, ditarik-ulur, sekaligus diputar vertikal dan horisontal! Lengkap sudah...). Kalau dipikir-pikir, para penikmat wahana-wahana itu bisa jadi tergolong masokis. Mereka secara sadar memasuki zona siksaan...suka menyakiti diri sendiri. Bukankah itu masokis? (*ngaco tapi serius

Bagi saya semua permainan itu tidak menarik. Saya yakin, saya tidak akan lebih bahagia setelah permainan itu saya selesaikan. Dan saya sama sekali tidak penasaran dengan sensasi yang ditawarkan. Benar-benar tidak alasan bagi saya mencoba satu pun wahana yang kami temui. Bagi wong ndeso seperti saya, cukuplah sensasi itu terwakili oleh sensasi saat take-off dan landing pesawat serta bau khas mobil mewah yang (selalu) memabukkan...huweek...(*ndeso tenan

Seorang panitia yang tampaknya mengerti penderitaan kami sebagai pemabuk, menyarankan kami masuk ke wahana ’statis’ semisal Istana Boneka, Rumah Miring, dan Rumah...lain-lain (saya tidak hafal). Kami mengikuti sarannya, dan sampailah kami di antrian pengunjung Istana Boneka. Tapi....oh..oh..oh..woww...antrean di depan begitu menganak-ular di bawah terik matahari yg memanaskan udara bumi. Maka, kami putuskan mengakhiri kepenasaranan kami melihat boneka apa saja yang boleh menghuni istana DUFAN. Proses mengantri kami hentikan. Saya pikir, mengantri sepanjang ini untuk espektasi kenikmatan yang rendah itu tidak rasional. Waktu kami berbalik untuk keluar antrean, alangkah terkejut....di belakang kami telah berdiri puluhan orang yg mengantri. Alamaaakk...Sejak kapan mereka ada di sana? Baru juga 10 menit kami berdiri di garis terbelakang, sekarang sudah berjibun orang di belakang kami.

DUFAN oh DUFAN. Jakarta oh Jakarta...
Secuil arena DUFAN ini mewakili Jakarta seutuhnya dalam benak saya. Kota yang padat. Semacam overdosis penghuni. Segalanya berjalan lamban karena semua orang bergerak ke arah yang sama. Hal yang populer akan cepat menyebar dan menjadi perhatian. Maka orang akan berbondong-bondong mendapatkan yang populer-populer itu. Ntah itu enak atau tidak, ntah bermanfaat atau tidak, ntah itu dibutuhkan atau tidak. Permainan rasa yang sering mengabaikan logika. Semua orang ke sana, maka saya juga ke sana. Filsafat latah. Alhasil, sebagian besar orang ini menghabiskan waktu lama menunggu giliran demi menikmati sekelumit kesenangan. Mengantri. Atau yang lebih parah: berebut.

Hhm...saya jadi memaksakan diri mendefinisikan arti bersenang-senang bagi diri saya sendiri. Kalau yang disuguhkan di hadapan saya ini tidak memenuhi kriteria dalam definisi ’bersenang-senang’ versi saya, lantas apa dong yang memenuhi? Dalam perenungan itu, saya merenung lagi lebih dalam (serasa ikut kelas hipnosis :p). Stadard bersenang-senang bagi saya ternyata adalah, bisa duduk bersama seseorang di udara terbuka yang teduh. Kami mengobrol sambil minum kopi tanpa kafein (kalau ada). Cukup begitu saja? Hahahaaa...teryata iya. Norak kah?

Terngiang suara salah satu panitia tadi, ”Kamu ayo naik wahana ini... Ini di Jogja ga ada kan yang kaya gini?”. Ingin hati berkata, ”Njuk...?” (translate: Terus...?). Tapi tidak saya katakan. Lagi-lagi, karena dia bos! Hehehee...etika orang Jawa mensyaratkan perlakukan khusus untuk orang-orang ’berkebutuhan khusus’ seperti ini. Hehehehehee :D