Dear readers
(kalau ada! Hehehe)
Tulisan kali ini berisi perenungan
mendalam saat saya dan beberapa kawan seprofesi digiring oleh pantia acara
perusahaan ke Dunia Fantasi (DUFAN). Ceileee... Bahkan di arena se-chaos DUFAN pun saya bisa merenung. Anda
kebayang dong, hebatnya saya?? Aahahaa... :D (Abaikan! Just kidding.)
Setibanya kami di DUFAN, teman-teman
panitia dari kantor pusat meunjukkan pada kami wahana-wahana apa saja yg ada di
sana. Pertama kali yg kami tuju adalah wahana Histeria. Saya menebak, alat
permainan itulah yg dirasa paling ngeri sehingga patut dicoba duluan. Saya
pikir saya cukup beruntung, mesin si Histeria sedang dalam masa perawatan,
sehingga wahana itu ditutup.
Kecewa dengan tujuan spektakuler yg
pertama, kami diajak ke tujuan berikutnya yg sudah saya duga sama tidak
wajarnya. Hhm...namanya Halilintar. Cetar...Cetar...? Oh, ternyata tidak ada
suara semacam itu. Segera saja teman-teman saya bersorak dan masuk lika-liku
antrean. Saya yang melihat sekilas si Halilintar memilin-milin penumpangnya,
segera tidak tertarik dan menjauhi antrean. Salah seorang teman memaksa saya
mencoba mengadu peruntungan di wahana ini, tapi saya berkeras menolak. ”Ah, ntar aja kalo kalian baik-baik saja
setelah turun dari situ, mungkin kapan-kapan aku mau mencoba. Hehehee...”,
begitu kira-kira saya menghindar. Saya memilih menunggui setumpukan tas dan
gadget teman-teman ketimbang di-putar-seret-dorong-kocok-jungkir-balik begitu.
Dalam pertapaan terbuka itulah saya
memasuki alam renungan (halah!). Jakarta! Aneh sekali warga kota ini. Di
hari-hari kerja yang penuh kepenatan khas kota metropolitan sebuah negara
berkembang, dengan temperatur udara di atas rata-rata suhu nusantara, dengan
lika-liku jalanan yang rumit dan tak bersahabat bagi warga baru, yang sebagian
besar penghuninya merasa harus melakukan aktivitas dengan terburu-buru, yang mengalami
kekeringan di usim kemarau dan kebanjiran di musim hujan, yang macet sudah jadi
keniscayaan... Warga kota yang hidup dalam hari-hari seperti itu memilih
menghabiskan akhir pekannya di arena seperti ini, demi diputar-putar, dijungkir-balik,
diseret-dorong, ditarik-ulur... Saya menangkap kejanggalan di titik ini. Inikah
kesenangan akhir pekan yang didambakan setelah semingguan penat mengejar target
kerja?
Seorang panitia mendadak muncul, mendapati
saya teronggok bersama gundukan tas sembari termangu menonton penumpang
halilintar yg di-putar-seret-dorong-kocok-jungkir-balik tersebut (asumsi: dia tidak paham, saya sedang
merenung). Dia segera ’mengusir’ eksistensi saya dari pose yang menurutnya
janggal itu, menyuruh saya naik wahana apa saja yang saya sukai.
Okee...perintahnya tidak bisa saya bantah, sebab kebetulan dia bos J. Jadilah saya dan 2 orang teman lainnya kabur
dari TKP dan mencari-cari mainan-apa-saja-yang-penting-diam.
Hahahaa...aneh. Kami ke sana kemari dan
tidak menemukan permainan semacam itu. Semua permainan yang kami hampiri selalu
melibatkan adegan pengacau kondisi homeostatis.
Ntah itu diputar horisontal macam komidi putar berkecepatan tinggi yang
pastinya bikin mabuk, diputar vertikal macam orang dipaksa salto dalam keadaan
duduk, dibolak-balik macam ikan gantung di pasar, ditarik ulur macam yoyo, atau
kombinasi dari semuanya (Anda digantung,
ditarik-ulur, sekaligus diputar vertikal dan horisontal! Lengkap sudah...).
Kalau dipikir-pikir, para penikmat wahana-wahana itu bisa jadi tergolong
masokis. Mereka secara sadar memasuki zona siksaan...suka menyakiti diri
sendiri. Bukankah itu masokis? (*ngaco
tapi serius
Bagi saya semua permainan itu tidak
menarik. Saya yakin, saya tidak akan lebih bahagia setelah permainan itu saya
selesaikan. Dan saya sama sekali tidak penasaran dengan sensasi yang
ditawarkan. Benar-benar tidak alasan bagi saya mencoba satu pun wahana yang
kami temui. Bagi wong ndeso seperti
saya, cukuplah sensasi itu terwakili oleh sensasi saat take-off dan landing
pesawat serta bau khas mobil mewah yang (selalu) memabukkan...huweek...(*ndeso tenan
Seorang panitia yang tampaknya mengerti
penderitaan kami sebagai pemabuk, menyarankan kami masuk ke wahana ’statis’
semisal Istana Boneka, Rumah Miring, dan Rumah...lain-lain (saya tidak hafal).
Kami mengikuti sarannya, dan sampailah kami di antrian pengunjung Istana
Boneka. Tapi....oh..oh..oh..woww...antrean di depan begitu menganak-ular di
bawah terik matahari yg memanaskan udara bumi. Maka, kami putuskan mengakhiri
kepenasaranan kami melihat boneka apa saja yang boleh menghuni istana DUFAN. Proses
mengantri kami hentikan. Saya pikir, mengantri sepanjang ini untuk espektasi kenikmatan
yang rendah itu tidak rasional. Waktu kami berbalik untuk keluar antrean,
alangkah terkejut....di belakang kami telah berdiri puluhan orang yg mengantri.
Alamaaakk...Sejak kapan mereka ada di sana? Baru juga 10 menit kami berdiri di
garis terbelakang, sekarang sudah berjibun orang di belakang kami.
DUFAN oh DUFAN.
Jakarta oh Jakarta...
Secuil arena DUFAN ini mewakili Jakarta
seutuhnya dalam benak saya. Kota yang padat. Semacam overdosis penghuni. Segalanya
berjalan lamban karena semua orang bergerak ke arah yang sama. Hal yang populer
akan cepat menyebar dan menjadi perhatian. Maka orang akan berbondong-bondong mendapatkan
yang populer-populer itu. Ntah itu enak atau tidak, ntah bermanfaat atau tidak,
ntah itu dibutuhkan atau tidak. Permainan rasa yang sering mengabaikan logika. Semua
orang ke sana, maka saya juga ke sana. Filsafat latah. Alhasil, sebagian besar
orang ini menghabiskan waktu lama menunggu giliran demi menikmati sekelumit
kesenangan. Mengantri. Atau yang lebih parah: berebut.
Hhm...saya jadi memaksakan diri
mendefinisikan arti bersenang-senang bagi diri saya sendiri. Kalau yang
disuguhkan di hadapan saya ini tidak memenuhi kriteria dalam definisi ’bersenang-senang’
versi saya, lantas apa dong yang memenuhi? Dalam perenungan itu, saya merenung
lagi lebih dalam (serasa ikut kelas hipnosis :p). Stadard bersenang-senang bagi
saya ternyata adalah, bisa duduk bersama
seseorang di udara terbuka yang teduh. Kami mengobrol sambil minum kopi tanpa
kafein (kalau ada). Cukup begitu
saja? Hahahaaa...teryata iya. Norak kah?
Terngiang suara salah satu panitia tadi, ”Kamu ayo naik wahana ini... Ini di Jogja ga
ada kan yang kaya gini?”. Ingin hati berkata, ”Njuk...?” (translate: Terus...?).
Tapi tidak saya katakan. Lagi-lagi, karena dia bos! Hehehee...etika orang Jawa
mensyaratkan perlakukan khusus untuk orang-orang ’berkebutuhan khusus’ seperti
ini. Hehehehehee :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar