Minggu, 28 Juli 2013

Hari yang Dira Tunggu

Dira…?

Dira?

Dira!

Dira!!!

Dira memanggil dirinya, sekuat tenaga. Memanggil namanya sendiri dengan sisa-sisa hidup yang masih ada. Semua ini, dirinya, hidupnya, seketika hilang. Dira berharap ini terakhir kalinya dia menulis tentang mereka. Bukan. Tentang Dira. Tentang lelaki itu. Terakhir kalinya, karena bulan depan lelaki itu resmi menjadi suami seseorang. Dan saat ini hati lelaki itu pasti dipenuhi wajah calon istrinya. Yang tersenyum malu-malu, memukau, dan cantik. Tak ada tempat lagi buat Dira. Tak ada ruang untuk memikirkan nasib Dira selanjutnya, setelah semua ini. Itulah dia. Akhirnya Dira mengenal lelaki itu, lewat cara tak terkira. Doa itu, “Dekatkan kami, jika berjodoh. Dan berikan takdir terbaik jika kami tidak berjodoh” pun terjawab. Inilah cara terbaik menurut-Nya untuk Dira. Tanpa tarikan kuat yang merebut semua kesempatan itu, pastilah lagi-lagi Dira masih mengaharapkan pepesan kosong. Yang bahkan logikanya pun mengerti konsekuensinya, telah berhitung risikonya, namun menyerah putus asa atas kekeraskepalaannya untuk…’setia’. Lagi-lagi, Dira pasti akan selalu masih berharap, dia dan lelaki itu punya masa depan. Hingga akhirnya hari itu tiba.

Delapan Juni 2013. Dira ingat dengan baik tanggal itu, sebab itu satu hari sebelum Artian, adiknya, berulang tahun. Tak perlulah Dira bersusah payah menghidupkan alarm jam 12 malam untuk mengirimi ucapan Happy Birthday kepada Artian. Seharian itu Dira cukup punya banyak benang kusut yang membuatny urung ternyenyak. Hari itu, lelaki itu menyatakan mundur. Menyatakan bahwa rasa itu hilang sejak 3 tahun yang lalu. “Mungkin karena terbiasa tanpa kamu”, katanya. Dira diam saja. Dira memang tidak tahu mesti berkata apa. Dira tidak ingin menuntut, lelaki itu memang bukan siapa-siapa. Mereka tidak pernah berikrar untuk menjadi apa-apa. Dira pun tak ingin menyerang, walau amunisi itu sempurna berbaris di kepalanya, siap dimuntahkan. Apa gunanya? Bukankah lelaki itu tidak memberikan pilihan? Bukankah Dira di sini hanya untuk menyimak keputusan? Ya. Bahwa lelaki itu ingin di antara mereka tidak ada apa-apa. Baiklah. Lelaki itu mendapatkan yang diinginkannya. Selamat!

Satu setengah bulan kemudian, melalui Watsap lelaki itu bercerita. Pada pertemuan terakhir dengan Dira, dia sedang berta’aruf dengan seseorang, dan tidak menyangka berhasil secepat ini. Dira merasa dituntut untuk tiba-tiba paham, bawa sebentar lagi lelaki itu akan menikah, tapi bukan berarti lelaki itu ‘berpaling’ darinya. Bahwa gadis pilihan itu datang setelah bertahun-tahun dia tidak punya perasaan apa pun pada Dira, tidak berharap apa pun dari Dira. Jadi, gadis ini bukan datang ‘menggeser’ tempat Dira. Tapi mengisi tempat kosong yang memang sudah tanpa pemilik. “Hahh…sejak kapan pula lelaki itu menarik sertifkat tempat dari kepemilikanku?”, dalam hati Dira tak mengerti. Oh ya, sudah kujelaskan di awal, lelaki itu dan Dira tidak pernah berikrar sebagai apa-apa, jadi jelaslah sertifikat itu juga tidak pernah ada. Tampaknya laki-laki itu peduli benar untuk tidak dianggap berpaling hati. Berkhianat.

Membaca pesan di Watsap tentang hasil ta’aruf lelaki itu, tiba-tiba Dira merasa ada yang ngilu di rusuk kirinya. Kakinya gemetar menahan berat tubuhnya sendiri. Isi kepala seketika kosong. Dira bertahan mati-matian untuk bisa tetap sadar dengan semua yang dilakukannya, dengan semua rencana perjalanan yang sedang  dia lakukan. Bahwa saat ini Dira sedang menunggu busway jurusan Harmoni, lalu transit di halte itu untuk menuju pintu busway selanjutnya menuju Halte Grogol. Dari Grogol nanti dia harus turun ke terminal, lalu naik elf merah ke Balaraja. Dira mati-matian mengingat-ingat instrukasi perjalanannya, mengalihkan pikiran yang menolak bertekuk lutut! Hah! Dasar otak keras kepala!

Dalam elf merah yang melaju ugal-ugalan, pikiran Dira memproses informasi dengan semakin gila. Banyak kesimpulan ditariknya keluar. Bahwa Dira yakin gadis itu adalah si ini, yang dia lihat namanya dimunculkan seseorang di komentar foto profil terbaru lelaki itu. Jika itu benar, Dira merasa berhak berpikir bahwa perasaannya diabaikan, sebab mestinya lelaki itu sudah lama mengupayakan ta’aruf dengan si gadis, dan baru ‘memintanya menyingkir’ sebulan kemudian. Dira mencium aroma ketertarikan lelaki itu kepada si gadis sejak dua bulan lalu dengan sebatas melihat nama di media sosial. Dan kesimpulan Dira diiyakan oleh lelaki itu. Pertanyaan terbesar Dira adalah, ke mana sosok Dira selama 3 tahun terakhir bagi lelaki itu?

Ingatan Dira melayang, pada 3 tahun yang dibilang lelaki itu sebagai masa ketika perasaannya pada Dira memang sudah hilang. Dalam tiga tahun itu, harapan Dira pada lelaki itu sama saja dengan 4 tahun sebelumnya. Dalam 3 tahun itu, setidaknya 3 kali mereka bertemu janji untuk sekedar menghabiskan waktu. Setiap pertemuan yang mereka upayakan itu, bagi Dira begitu menyenangkan. Yang Dira temui, selalu, adalah wajah senang yang menikmati perjalanan, obrolan, dan makanan apa saja. Pertemuan-pertemuan itu, kata si lelaki, adalah waktu yang diinginkannya untuk menakar isi hati Dira, dan mengabarkan isi hatinya yang sudah bukan milik Dira lagi. Namun selalu, kata lelaki itu, dia gagal berterus terang pada Dira tiap kali mereka bertemu.

Lelaki itu bilang, “Ketika akhirnya kita bertemu, perasaanku berbalik lagi. Aku merasakan lagi apa yang kurasakan padamu dulu. Dan itu membuatku selalu urung mengatakan padamu bahwa tak ada lagi kamu di hatiku. Bahkan dalam pertemuan kita yang ke-sekian, aku yakin lagi dengan hubungan kita, dan ingin melanjutkannya lebih serius denganmu. Tapi begitu kita berpisah, lagi-lagi, kamu hilang dari hatiku. Aku kadang terpikir untuk mengatakannya lewat pesan atau telepon saja. Tapi, di saat-saat aku terpikir begitu, kita selalu sedang tidak intens berkomunikasi. Aku pikir, kamu sudah melupakanku. Jadi, aku putuskan untuk tidak perlu membahasnya lagi”

Sungguh, ini untuk pertama kalinya Dira kesulitan berkhusnudzon tentang sosok yang rasanya telah sangat dikenalnya selama ini. Bagaimana mungkin? Tiga tahun? Itu artinya lebih dari seribu hari…dan lelaki itu merasa tidak punya kesempatan menjelaskannya?

“Dan apa dia bilang?! Dia merasa aku melupakannya? Perilakuku yang mana, yang membuatnya yakin dia kuhapus dari harapanku? Yang mana? Apakah SMS-SMS ku membuatnya merasa diabaikan? Apakah sapaan ringanku tiap pagi via GTalk, yang membuatnya merasa dilupakan? Apakah permintaanku untuk bisa meneleponlah, yang meyakinkannya aku sudah tak peduli? Apakah setiap ceritaku tentang apa yang kualamilah, yang membuatnya merasa disingkirkan? Dia gila atau apa?!!”, dalam hati Dira semakin tak mengerti.

“Sungguh Ya Rahman….Sungguh ini kali pertamaku kesulitan berkhusnodzon tentang hamba-Mu yang satu itu. Terlepas dari takdir-Mu, bahwa mereka berjodoh, Ya Rahim…hamba-Mu ini merasa ada yang tak adil.”, isak Dira pada Zat Yang Maha Memelihara.

Dira sulit mempercayai kalau lelaki itu tidak tahu menahu soal harapan Dira selama ini padanya. Dira yakin lelaki itu tahu. Atau minimal ge-er, bahwa seorang Dira punya harapan masa depan bersamanya. Dira lebih suka meyakini bahwa lelaki itu tidak mempedulikan perasaannya. Bahwa bagi lelaki itu, perasaan Dira bukan prioritas untuk dijaga. Minima untuk tidak disakiti. Setelah semua yang terjadi ini, Dira paham dia dianugerahi hidup yang luar biasa. Dira berharap, pukulan ini menyeretnya kembali kepada Tuhan-nya yang selama ini ntah diletakkannya di mana.

Balaraja,
Kunjungan pertama.