Tak dinyana, saya menulis sesuatu
bertajuk obituary (berita kematian). Bapak, pula, yang saya jadikan sosok
ter-obitaury itu. Ini sudah lebih dari sebulan beliau pergi menghadap
Penciptanya, namun saya baru menulis obituary sekarang. Tidak apa-apa, saya
kira Bapak tidak akan keberatan. J
Innalillahi wainnailaihi roji’un.
Telah berpulang ke haribaan ilahi Robbi, Bapak saya, Sutego, pada Hari Minggu
Legi, tanggal 14 September 2014 di RS Saras Husada Purworejo, pukul 14.55
–setidaknya, waktu inilah yang tertulis di catatan rumah sakit-.
Begitu saja. Obituary selesai.
Sejujurnya, saat merangkai kata-kata
di atas, banyak hal terlintas di pikiran saya. Sebagian berupa kenangan, dan
sebagian lain –yang jauh lebih besar- adalah pertanyaan. Ada masa lalu bersama
beliau yang saya ingat. Dan ada masa depan –tanpa beliau- yang rasanya
samar-samar.
Saya takjub mendapati diri saya
kangen pada sosok beliau. Bapak. Rasanya, selama ini beliau bukanlah sosok yang
kerap saya ceritakan di depan teman-teman saya. Beliau bukan juga seorang yang
sering saya bangga-banggakan, seperti banyak teman dekat saya melakukannya. Begitulah.
Dibandingkan Ibu, Bapak lebih jarang saya bicarakan. Selama ini saya berpikir
bahwa Ibulah, orangtua saya yang terdekat dalam artian fisik dan psikis.
Saya yakin, banyak hal yang Bapak
ketahui tentang saya adalah hasil dari informasi yang ‘dibocorkan’ oleh Ibu,
dari obrolan-obrolan kami. Ringkasnya, sosok Bapak, bagi saya, seperti bayangan
nyata yang saya tau ada, dan saya yakini punya peran, hanya saja saya tidak
pernah bisa menjelaskan apa dan bagaimana. Cukuplah gambar pohon dalam tes HTP
(House-Tree-Person) saya menjelaskan semua ini kepada pencicip psikologi
proyektif: beberapa pohon cemara di kanan kiri jalan-setapak-berkelok menuju
sebuah rumah berpintu terbuka. Ini soal
yang terbalik sama sekali dengan sosok Ibu. Ibu, bagi saya, adalah sosok yang touch-able, catch-able, explain-able,
hehehee…ini istilah saya sendiri. Mudah-mudahan paham-able :p
Sampai hari ini saya masih
berdiam di rumah, dalam arti saya tidak punya keharusan apapun untuk ke luar
rumah. Di pagi hari, ketika adik sudah pergi ke sekolah, dan Ibu sudah saya
antar ke tempat beliau mengajar, saya akan kesepian. Saya beberapa kali harus
mengingatkan diri kembali, bahwa Bapak sudah meninggal. Bapak sudah tidak akan
pulang pukul 10, membawa se-kresek uang hasil jualannya di pasar,
melemparkannya ke tikar di depan TV, dan menyuruh saya menghitung. Bagaimana
pun, beberapa hari ini, rasanya masih seperti dulu. Refleks saya melihat jam
dinding pada sekitaran waktu jam 9 atau 9.30, tapi kemudian saya sadar. Apa
gunanya?
Saya mesti menata batin saya,
untuk tak perlu lagi tergopoh-gopoh menyiapkan segelas besar teh manis hangat
di meja makan. Toh tidak akan ada lagi seorang pun protes kalau saya tidak
melakukannya. Saya juga tidak perlu lagi mencuci piring dan alat masak sebelum
mendengar komentar Bapak, betapa anak sulungnya ini maha-malas. Pun saya tidak
perlu lagi menanam alarm dalam pikiran untuk lekas-lekas mematikan TV saat
terdengar deru motor Bapak memasuki halaman rumah. Lebih dari semua itu, saya
tidak perlu lagi ‘menerawang’ seraut wajah lelah yang muncul dari pintu
samping, apakah pemilik wajah itu sedang dalam emosi biasa, bersemangat, atau
jengkel. Salah terawang bisa berakibat fatal seharian!
Sekarang, Bapak tidak akan lagi berkomentar,
mengatakan apa-apa. Bapak sudah tidak ada.
***
Rumah,
suatu pagi, di antara pagi-pagi yang sunyi