Muadzin sudah menyanyikan lagu penyeru sholat maghrib ketika
kami –aku dan seorang teman kos- belum juga sampai di bibir lahan parkir Masjid
Kampus. Bergegas kami menuju halamannya untuk mengantri sebungkus nasi dan
ta’jil buka puasa. Terlambat. Kardus-kardus sudah kosong melompong ditinggalkan
penghuninya. Glek… Kami ambil satu-satunya
yg tersisa saat itu: teh manis. Lalu kami putuskan berjalan keluar area masjid
untuk membeli pengganjal lambung.
Kami memilih batagor, di ujung persimpangan sebelah timur masjid.
Pertimbangannya sederhana. Itulah makanan pengganjal lambung terdekat yang kami
temukan. Sembari menyantap batagor -yang dalam kondisi lapar pun saya masih
bisa bilang tidak begitu enak-, saya mengamati si penjual batagor.
Laki-laki. Usianya saya kira masih sangat muda, sekitar 19
tahun atau kurang dari itu. Posturnya kurus, kulitnya putih, dan tingginya
sedang. Model rambutnya saat itu acak-acakan. Tapi sepertinya gaya itu memang
sengaja dibuat. Hair stylist mungkin
lebih bisa menghayati keindahan dalam apa yang saya sebut ‘acak-acakan’ tadi.
Saya tertarik mengamatinya saat dia mulai menyulut rokok.
Sambil berdiri menghadapi gerobaknya, dia menikmati tiap hisapan tembakau
linting itu. Bisik saya kepada teman kos saya, “Pendapatan dia per hari berapa, ya, dari berjualan kayak begini?
Apalagi dia cuman orang bayaran, bukan pemilik usaha. Duitnya pasti ga
banyak…tapi dia sempetin juga tuh duit buat beli rokok…”. Teman kos saya yang
semula tidak memperhatikan apa yg saya amati, seperti mau tersedak mendengarnya.
Dia melirik juga akhirnya ke arah penjual batagor, lalu tersenyum menyetujui
pertanyaan iseng saya tadi.
Pengamatan saya lalu beralih ke pakaian pemuda di belakang
gerobak batagornya itu. Kemeja kotak-kotak merah. Kontras dg warna kulitnya
yang putih. Warnanya cocok. Modelnya? Kemeja ketat. Panjang kemejanya saya rasa
tidak wajar. Terlalu pendek. Terlebih dia memakai celana jeans yang cukup
ketat, dengan ban pinggang yg melorot sampai pinggul (model celana dan rok yang
sedang popular saat ini memang yang terkesan melorot-melorot. Hehee..). Hingga
ketika dia bergerak membelakangi kami, memang tampaklah bahwa panjang kemejanya
tidak sanggup secara sempurna menutupi badan sampai ke tepi atas ban pinggang
yang melorot tadi, alias ada bagian tubuh belakangnya yang belum tertutupi.
Hhm…saya hanya merasa miris. “Apa yang
dia pikirkan ketika memilih pakaian itu? Ingin tampak modis? Ingin kelihatan
elegan? Ingin dibilang….sexy??”, batin saya. Saya rasa dia tidak kelihatan
seperti modis, elegan, apalagi sexy.
Bagi saya yang wanita, wanita
berbaju ketat dengan celana atau rok yang ban pinggangnya melorot itu lebih
masuk akal dibanding pemandangan di belakang gerobak batagor itu. Ada sisi
kebanggaan ragawi wanita yang ingin dipamerkan, yang si wanita pikir indah dan ingin
orang lain ikut mengakui keindahannya. Konon sebutan “keindahan tubuh” hanya
dimiliki kaum hawa. Susah, bukan, mengatakan tubuh laki-laki itu “indah”? Lebih
mudah dicerna dan pas, kalau dikatakan ‘proporsional’ atau ‘ideal’. Tapi bukan
‘indah’.
Dan makhluk di belakang gerobak
tadi laki-laki…..hello…apa yang dia
pikir bisa dia pamerkan dengan baju seperti itu?? Saya wanita. Dan satu-satunya
yang membuat saya tertarik memperhatikan penampilannya adalah karena
penampilannya begitu ganjil, bukan sebab dia terlihat mempesona dengan
pakaiannya.
Hari semakin gelap dan keriuhan
di sekitar kami tiba-tiba ditimbuni bunyi tamborin (jawa gaul: kecrékan)
serta suara melengking milik seorang pengamen yang…dari suaranya saja orang
pasti sudah menebak jenis kelaminnya: labil. Terus terang, saya agak takut
dengan makhluk model begini. Jenis manusia yang membuat kita merasa bersalah
memanggilnya “Mas”, seperti halnya kita merasa berdosa jika memanggilnya
“Mbak”. Tidak tahu kapan tepatnya bermula, saya memang selalu merasa panik dan
ingin lari jika ada makhluk semacam ini mendekat. Seperti saat ini… .
Dua makhluk yang sulit
diidentifikasi jenis kelaminnya itu memang mendekati lokasi saya dan teman saya
menyantap batagor. Sambil terus bernyanyi dengan suara “khas”nya, dia menyapa
siapa saja dengan sebutan apa saja. Pembeli cilok di gerobak sebelah
dipanggilnya Mas Ganteng, sementara penjual ciloknya dia sebut Om.
Dan sampailah giliran kami, para
penikmat batagor. Saat itu ialah saat di mana sendi-sendi tubuh saya sudah
kaku. Antara rasa panik, usaha menenangkan hati, dan menahan diri agar tak
buru-buru kabur. Si penyanyi mendekat, menggoyang-goyangkan tamborin sekaligus
badannya sendiri tepat di samping saya, di hadapan tiga pria yang duduk lesehan
menikmati batagornya. Tiga pria itu pun serentak cuek, padahal sebelum makhluk
ini mendekat, mereka kelihatan antusias memperhatikan dari jauh.
Saya jadi punya kesempatan
memperhatikan dengan seksama objek ketakutan saya ini. Ohh….dia memakai tengtop
merah cerah, rok mini, dengan stoking jala-jala membungkus sepasang kakinya.
Rambutnya panjang (definitely, it is wig),
dan saya lebih suka menyebutnya acak-acakan ketimbang gaya. Dengan bulu mata
panjang dan polesan yang serba tebal di seluruh permukaan wajahnya, mereka
semakin menakutkan. Daya tarik mereka habis sampai di situ, tak berdaya
menghadapi kami yang lebih tega tak memberi receh sepeser pun.
Batin saya kembali bergumam, “Apa yang dia pikirkan ketika memilih pakaian
itu? Ingin tampak mencolok? Ingin kelihatan menawan? Ingin dibilang….sexy??”.
Baiklah, jika tujuannya untuk menarik perhatian, maka mereka berhasil. Tapi
tampaknya mereka melupakan kemungkinan,
bahwa korelasi antara jumlah perhatian yang diterima dengan pendapatan yang
mereka peroleh, bisa jadi negatif. Mengapa? Sebagian orang memilih menjauh
ketika melihat sosok mereka, ketimbang mendekat dan menyodorkan uang.
See? Beberapa laki-laki mulai suka memamerkan tubuhnya sendiri.
Baik dengan cara mengetatkan bajunya sendiri, atau memakai baju ketat milik
wanita. Dalam teori konspirasi dunia, apa yang dilakukan para lelaki ini menegaskan
dengan terang-terangan bahwa merekalah korban perang, perang pemikiran (ngaco jauh banget sih, tapi masuk akal kan?).
Hehehehee… :D
Hhm…bagi Anda yang wanita, apakah sempat
berpikir ingin punya pasangan hidup dari jenis laki-laki seperti di atas? Bagi
Anda yang laki-laki, apakah ada yang kepikiran untuk menarik wanita-baik yang
Anda idamkan dengan cara seperti di atas? Saya pikir, kedua pertanyaan itu jawabannya
‘tidak’. Jelas, karena semua wanita pada dasarnya menginginkan pasangan yang
baik. Dan laki-laki yang baik, pasti akan menjaga penampilannya, agar dia tidak
dinilai tak-baik.
So…saya belum mendapatkan jawaban
dari “Apa yang mereka pikirkan ketika
memilih pakaian itu?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar