Senin, 24 September 2012

Bajumu Lho Mas...


Muadzin sudah menyanyikan lagu penyeru sholat maghrib ketika kami –aku dan seorang teman kos- belum juga sampai di bibir lahan parkir Masjid Kampus. Bergegas kami menuju halamannya untuk mengantri sebungkus nasi dan ta’jil buka puasa. Terlambat. Kardus-kardus sudah kosong melompong ditinggalkan penghuninya. Glek…  Kami ambil satu-satunya yg tersisa saat itu: teh manis. Lalu kami putuskan berjalan keluar area masjid untuk membeli pengganjal lambung.

Kami memilih batagor, di ujung persimpangan sebelah timur masjid. Pertimbangannya sederhana. Itulah makanan pengganjal lambung terdekat yang kami temukan. Sembari menyantap batagor -yang dalam kondisi lapar pun saya masih bisa bilang tidak begitu enak-, saya mengamati si penjual batagor.

Laki-laki. Usianya saya kira masih sangat muda, sekitar 19 tahun atau kurang dari itu. Posturnya kurus, kulitnya putih, dan tingginya sedang. Model rambutnya saat itu acak-acakan. Tapi sepertinya gaya itu memang sengaja dibuat. Hair stylist mungkin lebih bisa menghayati keindahan dalam apa yang saya sebut ‘acak-acakan’ tadi.

Saya tertarik mengamatinya saat dia mulai menyulut rokok. Sambil berdiri menghadapi gerobaknya, dia menikmati tiap hisapan tembakau linting itu. Bisik saya kepada teman kos saya, “Pendapatan dia per hari berapa, ya, dari berjualan kayak begini? Apalagi dia cuman orang bayaran, bukan pemilik usaha. Duitnya pasti ga banyak…tapi dia sempetin juga tuh duit buat beli rokok…”. Teman kos saya yang semula tidak memperhatikan apa yg saya amati, seperti mau tersedak mendengarnya. Dia melirik juga akhirnya ke arah penjual batagor, lalu tersenyum menyetujui pertanyaan iseng saya tadi.

Pengamatan saya lalu beralih ke pakaian pemuda di belakang gerobak batagornya itu. Kemeja kotak-kotak merah. Kontras dg warna kulitnya yang putih. Warnanya cocok. Modelnya? Kemeja ketat. Panjang kemejanya saya rasa tidak wajar. Terlalu pendek. Terlebih dia memakai celana jeans yang cukup ketat, dengan ban pinggang yg melorot sampai pinggul (model celana dan rok yang sedang popular saat ini memang yang terkesan melorot-melorot. Hehee..). Hingga ketika dia bergerak membelakangi kami, memang tampaklah bahwa panjang kemejanya tidak sanggup secara sempurna menutupi badan sampai ke tepi atas ban pinggang yang melorot tadi, alias ada bagian tubuh belakangnya yang belum tertutupi. Hhm…saya hanya merasa miris. “Apa yang dia pikirkan ketika memilih pakaian itu? Ingin tampak modis? Ingin kelihatan elegan? Ingin dibilang….sexy??”, batin saya. Saya rasa dia tidak kelihatan seperti modis, elegan, apalagi sexy.

Bagi saya yang wanita, wanita berbaju ketat dengan celana atau rok yang ban pinggangnya melorot itu lebih masuk akal dibanding pemandangan di belakang gerobak batagor itu. Ada sisi kebanggaan ragawi wanita yang ingin dipamerkan, yang si wanita pikir indah dan ingin orang lain ikut mengakui keindahannya. Konon sebutan “keindahan tubuh” hanya dimiliki kaum hawa. Susah, bukan, mengatakan tubuh laki-laki itu “indah”? Lebih mudah dicerna dan pas, kalau dikatakan ‘proporsional’ atau ‘ideal’. Tapi bukan ‘indah’.

Dan makhluk di belakang gerobak tadi laki-laki…..hello…apa yang dia pikir bisa dia pamerkan dengan baju seperti itu?? Saya wanita. Dan satu-satunya yang membuat saya tertarik memperhatikan penampilannya adalah karena penampilannya begitu ganjil, bukan sebab dia terlihat mempesona dengan pakaiannya.

Hari semakin gelap dan keriuhan di sekitar kami tiba-tiba ditimbuni bunyi tamborin (jawa gaul: kecrékan) serta suara melengking milik seorang pengamen yang…dari suaranya saja orang pasti sudah menebak jenis kelaminnya: labil. Terus terang, saya agak takut dengan makhluk model begini. Jenis manusia yang membuat kita merasa bersalah memanggilnya “Mas”, seperti halnya kita merasa berdosa jika memanggilnya “Mbak”. Tidak tahu kapan tepatnya bermula, saya memang selalu merasa panik dan ingin lari jika ada makhluk semacam ini mendekat. Seperti saat ini… .

Dua makhluk yang sulit diidentifikasi jenis kelaminnya itu memang mendekati lokasi saya dan teman saya menyantap batagor. Sambil terus bernyanyi dengan suara “khas”nya, dia menyapa siapa saja dengan sebutan apa saja. Pembeli cilok di gerobak sebelah dipanggilnya Mas Ganteng, sementara penjual ciloknya dia sebut Om.

Dan sampailah giliran kami, para penikmat batagor. Saat itu ialah saat di mana sendi-sendi tubuh saya sudah kaku. Antara rasa panik, usaha menenangkan hati, dan menahan diri agar tak buru-buru kabur. Si penyanyi mendekat, menggoyang-goyangkan tamborin sekaligus badannya sendiri tepat di samping saya, di hadapan tiga pria yang duduk lesehan menikmati batagornya. Tiga pria itu pun serentak cuek, padahal sebelum makhluk ini mendekat, mereka kelihatan antusias memperhatikan dari jauh.

Saya jadi punya kesempatan memperhatikan dengan seksama objek ketakutan saya ini. Ohh….dia memakai tengtop merah cerah, rok mini, dengan stoking jala-jala membungkus sepasang kakinya. Rambutnya panjang (definitely, it is wig), dan saya lebih suka menyebutnya acak-acakan ketimbang gaya. Dengan bulu mata panjang dan polesan yang serba tebal di seluruh permukaan wajahnya, mereka semakin menakutkan. Daya tarik mereka habis sampai di situ, tak berdaya menghadapi kami yang lebih tega tak memberi receh sepeser pun.

Batin saya kembali bergumam, “Apa yang dia pikirkan ketika memilih pakaian itu? Ingin tampak mencolok? Ingin kelihatan menawan? Ingin dibilang….sexy??”. Baiklah, jika tujuannya untuk menarik perhatian, maka mereka berhasil. Tapi tampaknya mereka melupakan kemungkinan, bahwa korelasi antara jumlah perhatian yang diterima dengan pendapatan yang mereka peroleh, bisa jadi negatif. Mengapa? Sebagian orang memilih menjauh ketika melihat sosok mereka, ketimbang mendekat dan menyodorkan uang.

See? Beberapa laki-laki mulai suka memamerkan tubuhnya sendiri. Baik dengan cara mengetatkan bajunya sendiri, atau memakai baju ketat milik wanita. Dalam teori konspirasi dunia, apa yang dilakukan para lelaki ini menegaskan dengan terang-terangan bahwa merekalah korban perang, perang pemikiran (ngaco jauh banget sih, tapi masuk akal kan?). Hehehehee… :D

Hhm…bagi Anda yang wanita, apakah sempat berpikir ingin punya pasangan hidup dari jenis laki-laki seperti di atas? Bagi Anda yang laki-laki, apakah ada yang kepikiran untuk menarik wanita-baik yang Anda idamkan dengan cara seperti di atas? Saya pikir, kedua pertanyaan itu jawabannya ‘tidak’. Jelas, karena semua wanita pada dasarnya menginginkan pasangan yang baik. Dan laki-laki yang baik, pasti akan menjaga penampilannya, agar dia tidak dinilai tak-baik.

So…saya belum mendapatkan jawaban dari “Apa yang mereka pikirkan ketika memilih pakaian itu?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar